Saat dibangun pada sekitar tahun 1854, bangunan asli Masjid Agung Al-Falah Kyai Mojo masih berbentuk mushola sederhana dengan dinding terbuat dari bambu dan beratap rumbia. Pemugaran Masjid Agung Al-Falah Kyai Mojo dilakukan pada 1864, dipimpin Raden Syarif Abdullah bin Umar Assegaf yang dibuang Belanda ke Kampung Jaton (Jawa Tondano) bersama rombongannya pada tahun 1860.
Selanjutnya Masjid Agung Al-Falah Kyai Mojo mengalami renovasi pada 1974, 1981, dan 1994. Mungkin ada lagi renovasi setelah itu yang membuat penampilan masjid menjadi elok, bukan hanya penampilan luarnya namun juga bagian dalamnya. Ketika kami berkunjung, seingat saya, hari menjelang siang namun belum lagi masuk waktu untuk shalat dzuhur sehingga masjid masih sepi.
Masjid Agung Al-Falah Kyai Mojo Minahasa Sulawesi Utara yang bergaya Joglo dengan atap limasan tumpang, menyerupai bentuk bangunan Masjid Agung Demak di Jawa Tengah. Dari puncak menara masjid yang cukup tinggi itu pengunjung bisa melihat seluruh perkampungan Jawa Tondano dan desa-desa di sekitarnya, serta sebagian dari Danau Tondano dengan warna airnya yang kebiruan.
Sebagai pembatas halaman Masjid Agung Al-Falah Kyai Mojo dengan jalan di depannya telah dipasang pilar beton dengan bilah-bilah pagar besi cantik menyerupai tusuk sate, yang mengingatkan pada bentuk tusuk sate yang ada pada puncak Gedung Sate di Bandung. Di bagian tengah pagar yang artistik itu terdapat pintu pagar dengan desain yang tak biasa namun cukup cantik.
Untuk memudahkan akses ke dalam ruang utama, Masjid Agung Al-Falah Kyai Mojo memiliki pintu samping di sebelah kanan dan kiri ruangan utama masjid. Jendela-jendela kaca sebagai sumber cahaya di siang hari mengambil bentuk seperti panah, mengingatkan saya pada rancangan Masjid At Tin di Jakarta Timur. Sedangkan mimbarnya terbuat dari kayu berukir halus bertuliskan ayat-ayat Al-Quran yang konon ditoreh oleh para kyai.
Ruang utama Masjid Agung Al-Falah Kyai Mojo Minahasa Sulawesi Utara memiliki empat soko guru atau pilar kayu setinggi 18 meter yang menyangga bangunan atapnya. Ada ornamen indah, berupa torehan suluran dan bebungaan, pada setiap umpak atau bagian dasar soko guru masjid. Pada bangunan jaman dahulu, umpak biasanya terbuat dari batu gunung, sehingga sangat awet.
Bagian dalam atap Masjid Agung Al-Falah Kyai Mojo sepenuhnya terbuat dari kayu yang ditata dengan rapi dan sangat artistik. Ukiran halus bercitarasa tinggi ditoreh di kayu bersilang lengkung yang berada di bagian pusat. Lampu gantung dengan 38 titik lampu melingkar berkomposisi 14-12-8-4 mempercantik ruang dalam masjid, yang jika dilihat pada malam hari tentulah lebih indah saat lampunya menyala.
Masjid Agung Al-Falah Kyai Mojo Minahasa Sulawesi Utara berdiri dengan anggun di Perkampungan Jawa Tondano yang mayoritas penduduknya beragama Islam, dimana mereka hidup tentram dan damai di tengah-tengah permukiman masyarakat Minahasa di sekitarnya yang mayoritas beragama Kristen. Memang sudah seharusnya kepercayaan dan agama membawa kebaikan, kedamaian, kerukunan, ketenteraman, dan kemajuan bagi diri dan lingkungan sekitarnya.
Lampu gantung yang indah dengan latar belakang bilah kayu berukir halus pada dalaman atap sempat saya ambil fotonya dengan berbaring terlentang pada karpet masjid, suatu cara yang biasa saya lakukan ketika memotret bagian tengah masjid. Dalaman pusat masjid biasanya merupakan salah satu bagian terindah yang ada di dalam ruangan masjid, selain bagian mihrab.
Setelah puas mengagumi dan memotret bagian dalam Masjid Agung Al-Falah Kyai Mojo, kami pun keluar masjid dan masuk ke dalam menara yang berada di samping masjid, dan dengan hati-hati mulai meniti satu persatu tangga yang memiliki kemiringan sekitar 70 derajat di dalam menara berlantai enam itu. Lubang di beberapa lantainya dipersempit dengan bilah bambu karena sedang dalam perbaikan, membuat kami harus ekstra hati-hati agar kamera dan kepala tidak tertumbuk.
Tak sia-sia kami menghabiskan waktu dan tenaga untuk merayap ke dek pengamatan di puncak menara Masjid Agung Al-Falah Kyai Mojo Minahasa Sulawesi Utara keren pemandangan dari sana sangatlah luas ke empat penjuru mata angin. Kami bisa melihat dengan jelas Kampung Jawa Tondano di latar depan dan lahan persawahan yang sangat subur di belakangnya. Lebih jauh di belakang persawahan adalah sudut Danau Tondano yang indah.
Masjid Agung Al-Falah Kyai Mojo
Alamat: Kampung Jawa Tondano, Kecamatan Tondano Utara, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Lokasi GPS 1.3103487, 124.9194753, Waze. Tempat Wisata di Minahasa, Peta Wisata Minahasa, Hotel di Manado.Bagian dalam atap Masjid Agung Al-Falah Kyai Mojo yang sepenuhnya terbuat dari kayu yang ditata dengan rapi dan sangat artistik. Ukiran halus bercitarasa tinggi ditoreh di kayu bersilang lengkung yang berada di bagian pusat. Lampu gantung dengan 38 titik lampu melingkar berkomposisi 14-12-8-4 mempercantik ruang dalam masjid, yang jika dilihat pada malam hari tentulah lebih indah saat lampunya menyala.
Sebagaimana lazimnya masjid di Jawa, di Masjid Agung Kyai Mojo juga ada bedug cukup besar dengan kentongan yang terbuat dari sebuah batang pohon utuh cukup besar dan tinggi yang dilubangi pada satu sisinya. Meski masih terlihat kuat, namun ada corat-coret tulisan pada kulit bedugnya. Sebuah nafsu keisengan tangan yang merusak. Bunyi bedug yang paling indah adalah ketika berada di bulan puasa dan waktu maghrib tiba yang menandai waktunya untuk berbuka puasa.
Pintu utama Masjid Kyai Mojo dengan bentuk rancangan yang agak unik, menggunakan pilar-pilar bulat dan bola-bola diatasnya. Rancangan dengan pilar seperti ini membatasi aliran orang masuk dan keluar yang mungkin bisa berbahaya jika dalam keadaan darurat. Ada baiknya pintunya dibuat lebih lentur, yang jika diperlukan dalam keadaan memaksa bisa terbuka semuanya tanpa ada pilar di bagian tengahnya.
Pandangan pada sisi kiri Masjid Kya Mojo, memperlihatkan atap limasan tumpang tiga khas bangunan masjid Jawa, dan menara masjid yang berbentuk kotak segi empat. Pada kemuncak masjid terdapat kaligrafi berbunyi 'Allah', sedangkan jendela-jendela kayu pada masjid mengambil bentuk panah sebagaimana Masjid At Tin di Jakarta.
Pandangan menyamping pada bagian mihrab Masjid Agung Kyai Mojo Minahasa dengan dua diantara empat sokoguru, dan bentuk seperti balkon di atas mimbar dan ruang pengimaman. Tak jelas apa fungsi balkon itu sehingga harus ada, dan merupakan struktur tambahan pada mihrab yang belum pernah saya lihat di masjid lain yang pernah saya datangi.
Mimbar kayu Masjid Agung Kyai Mojo dengan ukiran hampir di seluruh permukaan kayunya, bermotifkan bebungaan dan suluran. Di bagian depan atas serta di bagian sandaran punggung ada ukiran kutipan ayat suci. Di sebelah kiri belakang mimbar terlihat maket masjid yang dibuat di dalam kotak kaca.
Ornamen pada umpak sokoguru Masjid Agung Kyai Mojo yang berbentuk kotak persegi empat pada landasannya dan bentuk yang lebih indah pada bagian atasnya. Pilarnya sendiri berbentuk segi enam, yang tampak berbeda dengan pilar yang ada di ujung belakang sana, di dekat mihrab.
Bagian pusat langit-langit ruangan utama Masjid Agung Kyai Mojo dengan tatanan kayu berukir yang disusun secara elok dan memikat. Ukirannya terlihat dikerjakan dengan halus bermotif bunga matahari dan dedaunan. Trap-trapan kayu yang mengerucut ke atas semakin memperindah penampilannya.
Lampu gantung Masjid Agung Kyai Mojo dengan 38 titik lampu melingkar berkomposisi 14-12-8-4 mempercantik ruang dalam masjid, yang jika dilihat pada malam hari tentulah lebih indah saat lampunya menyala. Warna plitur pada kayunya di latar belakang sana membuat kesan klasik yang anggun.
Pandangan yang lebih utuh pada pusat langit-langit Masjid Agung Kyai Mojo Minahasa yang berbentuk kotak dengan trap-trapan kayu yang semakin menyempit ke arah atas. Sementara di bagian pusatnya ada ukuran bunga matahari dengan posisi lebih rendah sehingga keempat bidang penghubungnya berbentuk lengkung.
Pandangan dari arah depan pada bagian pengimaman dan mimbar kayu di area mihrab Masjid Agung Kyai Mojo, dengan bentuk balkon yang terlihat unik dan tak lazim. Namun jika tanpa balkon itu, bagian mihrab memang akan terlihat sangat datar dan sepi.
Struktur atap masjid yang menggunakan kayu jati tanpa penutup pada dalamannya yang diperkaya dengan ukir memberi kesan artistik kuat, namun memang memiliki keterbatasan dari sisi usia. Belum lagi bahan kayu tua yang kian hari kian sulit ditemukan, membuat semakin banyak masjid yang mengurangi penggunaan kayu dan menggantinya dengan beton dan baja, dengan mengorbankan seni klasiknya.
Pandangan menyamping yang ditarik lebih ke belakang lagi sehingga bisa memperlihatkan keempat buah sokoguru yang rupanya semua memang berbentuk segi enam tak sama lebar. Bentuk pintu samping Masjid Agung Kyai Mojo ini sama persis dengan pintu yang ada di bagian depan. Ruangan utamanya rupanya memang berbentuk simetri sempurna.
Pandangan dari bagian belakang Masjid Agung Kyai Mojo Minahasa, memperlihatkan bedug yang ada di teras belakang. Gapura depan masjid tampak di kanan belakang sana, dekat dengan menara yang berbentuk kotak. Sebelah kiri adalah tempat untuk mengambil air wudlu.
Pemandangan dari dek pandang yang ada di bawah puncak menara Masjid Agung Kyai Mojo, mengarah ke Kampung Jawa Tondano dan sebuah gereja di ujung sana, menandai area permukiman warga asli Tondano. Kehidupan rukun antar suku dan agama tercipta dengan sikap saling hormat menghormati serta saling bertenggang rasa.
Pandangan lebih dekat pada gereja yang ada di Tondano, diambil dengan menggunakan lensa zoom dari menara Masjdi Agung Al Falah Kyai Mojo Minahasa. Entah mengapa kami tidak mampir ke gereja itu, yang mestinya menarik juga, karena bangunannya juga terlihat sudah tua.
Masih dari dalam dek pandang menara Masjid Agung Kyai Mojo, ini adalah pemandangan yang mengarah ke Danau Tondano yang terlihat di ujung sana, sebelum perbukitan yang membatasinya, dengan latar depan persawahan subur dan permukiman penduduk yang kebanyakan menggunakan atap seng.
Pandangan dari dek menara Masjid Agung Kyai Mojo yang mengarah ke barat laut. Bangunan dengan atap biru laut adalah Gedung Walenetouw di Kelurahan Sasaran, Kecamatan Tondano Utara, tempat dimana Presiden Joko Widodo mengikuti acara menghadiri perayaan Natal Nasional pada tahun 2016. Di sebelah kanannya adalah tribun Stadion Maesa Tondano.
Tribun Stadion Maesa Tondano terlihat sangat jelas dari dek pandang menara Masjid Agung Kyai Mojo, sedangkan di sebelah kanan adalah gedung Gereja Moria yang terlihat cantik dengan dua buah menaranya. Cukup lama juga kami berada di atas dek pandang, seolah tak rela turun terlalu cepat karena memang tak begitu mudah untuk naik ke sana.
Pandangan dengan lensa zoom pada bangunan Gereja GMIM Moria yang berada di Kelurahan Sasaran, Kecamatan Tondano Utara. Pandangan dekat ini memperlihatkan bahwa Gereja Moria tidak hanya memilik dua buah menara, namun tiga yang bentuknya menyerupai bunga lancip tajam ke atas.
Pandangan ke arah selatan dari dek pandang menara Masjid Agung Kyai Mojo yang memperlihatkan pinggiran Danau Tondano, melewati lahan persawahan yang luas dan subur. Jika ditarik garis lurus, jarak dari masjid ke tepian danau adalah sekitar 3 km.
Masih dari dek pandang menara Masjid Agung Kyai Mojo yang mengarah ke Danau Tondani dengan bangunan gereja menjulang lebih tinggi dari bangunan rumah warga yang ada di sekitarnya. Tanaman padi di latar depan terlihat masih muda dan ada sejumlah petani yang saat itu tengah bekerja di sana.
Kaligrafi di puncak Masjid Agung Kyai Mojo yang berbunyi 'Allah' dengan lampu diletakkan di sebelahnya. Puncak masjid tentu saja lebih rendah dari dek pandang dimana kami berada, sehingga kami seperti memiliki pemandangan seekor burung yang terbang di atas atap masjid.
Foto terakhir dari dek pandang menara Masjid Agung Kyai Mojo yang saya tujukan ke arah Danau Tondano. Belakangan baru tahu bahwa mestinya saya juga bisa mengarahkan lensa tele untuk melihat Benteng Moraya, yang entah mengapa tak pula saya kunjungi saat berada di Tondano. Namun sepertinya benteng itu belum dibangun kembali ketika kami ada di sana.
Pilar beton dengan bilah-bilah pagar besi cantik menyerupai tusuk sate dipasang sebagai pagar depan Masjid Agung Kyai Mojo, yang mengingatkan pada bentuk tusuk sate yang ada pada puncak Gedung Sate di Bandung. Di bagian tengah pagar yang artistik itu terdapat pintu pagar dengan desain yang tak biasa namun cukup cantik.
Tengara nama Masjid Agung Al-Falah Kyai Modjo Kabupaten Minahasa, di Kelurahan Kampung Jawa, Tondano. Nama sang kyai pada tengara nama ini ditulis dengan menggunakan ejaan lama. Adalah sebuah ironi bahwa Kyai Mojo yang berjuang melawan Belanda dengan semangat hendak mendirikan negara berdasar syariat agama Islam, yang dalam soal ini berbeda pendapat dengan Pangeran Diponegoro, harus hidup di pengasingan yang mayoritas warganya justru beragama Kristen, dan hidup damai di sana bersama pengikutnya, kawin campur dan melahirkan keturunan campuran Jawa Minahasa.
Sudah benar bahwa para pendiri negara ini memutuskan mendirikan NKRI, bukan berdasar agama tertentu, karena hanya dengan bentuk seperti itulah persatuan dan kesatuan sebagai bangsa Indonesia bisa terus terpelihara, oleh sebab setiap orang memiliki hak dan kewajiban sama yang dijamin oleh undang-undang, tanpa memandang suku, agama dan kepercayaannya.
Diubah: Desember 16, 2024.
Label: Masjid, Minahasa, Sulawesi Utara, Tondano, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.